– Muhammad Iskandar Dahrawi,
Semenyih, Selangor.
– Muhammad Iskandar Dahrawi,
Semenyih, Selangor.
FIRMAN Allah, Dan apabila dikhabarkan kepada seseorang dari mereka bahawa ia beroleh anak perempuan, muramlah mukanya sepanjang hari (kerana menanggung dukacita), sedang ia menahan perasaan marahnya dalam hati. (An-Nahl: 58)
Huraian
Al-Quran telah menunjukkan gambaran tentang sikap buruk orang arab Jahiliah yang apabila dikurniakan anak perempuan mereka merasa terlalu dukacita sehingga ternampak kemurungan di wajah masing-masing.
Memendam perasaan marah dan dukacita seolah-olah anak perempuan itu membawa kecelakaan kepada keluarga mereka. Sedangkan anak perempuan juga adalah kurniaan Allah s.w.t seperti anak lelaki.
Mengapa mereka berdukacita, sedangkan mereka sendiri tidak berkuasa untuk menentukan jantina anak di dalam rahim ibu, apatah lagi untuk meniupkan roh ke dalam janin.
FIRMAN Allah s.w.t: Dan orang-orang yang akan meninggal dunia antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (iaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya).
Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa kepada kamu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang makruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (al-Baqarah: 240)
Ada beberapa hal yang perlu dijelaskan terlebih dahulu agar tidak rancu (keliru) dalam memahami duduk permasalahannya.
Al-Imam Al-Bukhari adalah seorang muhaddits yang lahir tahun (810-896). Beliau banyak melakukan kritik hadits dan masterpiece beliau adalah kitab yang disebut dengan istilah Ash-Shahih. Orang biasa menyebutnya dengan shahih Bukhari. Judul lengkapnya adalah Jami' Ash-Shahih Al-Musnad Al-Mukhtashar min Haditsi Rasulillah shallallahu 'alaihi wasallam wa sunanihi wa ayyamihi.
Kitab yang berisi 7.275 hadits secara terulang-ulang atau 4000 haditsbila tidak diulang-ulangini oleh semua ahli hadits diakui sebagai kitab yang sudah mengalami seleksi yang teramat ketat dan tidak main-main.
Agar sebuah hadits bisa lolos seleksi (melepasi piawaian) ketat Al-Imam Bukhari dan tertulis di dalamnya, maka proses yang dialaminya menjadi sangat panjang.
Misalnya, para perawi yang meriwayatkan hadits ini harus lolos seleksi yang teramat ketat. Karena Al-Bukhari menelusurinya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Nyaris tidak ada seorang pun yang pernah berdusta yang akan dipakai hadits oleh beliau.
Bahkan jangankah berdusta, sekedar berpakaian kurang sopan dan tidak selayaknya dalam pandangan masyarakat, sudah dinilai miring (bermasalah) oleh beliau. Maka hadits-hadits yang diriwayatkan oleh orang tersebut pastilah mengalami diskualifikasi. Tidak masuk ke dalam jajaran hadits di dalam kitab beliau.
Maka keshahihan semua hadits yang ada di dalam kitab As-Shahih yang disusun oleh Al-Bukhari telah menjadi ijma' ulama sedunia. Bahkan kitab ini mendapat julukan kitab tershahih kedua setelah Al-Quran Al-Kariem.
Kitab Karya Al-Bukhari Selain Ash-Shahih
Namun yang jarang diketahui adalah ternyata Al-Imam Al-Bukhari punya karya hadits yang lain selain kitab Ash-Shahihnya. Di mana karya-karya itu memang memuat hadits, namun beliau sendiri tidak menjamin apakah hadits yang ada di dalam karyanya itu shahih atau tidak.
Kalau beliau tidak menjamin, bukan berarti pasti tidak shahih. Tidak demikian cara kita memahaminya. Namun beliau tidak melakukan penyeleksian seperti ketika menyusun Ash-Shahih.
Di antara kitab yang pernah ditulis oleh beliau adalah duakitab kecil yang diberi judul Raf'ul Yadain (mengangkat kedua tangan) dan Ashshalatu khalfal imam (shalat di belakang imam). Kedua kitab ini cukup tipis, meski berisi hadits juga. Dan beliau tidak menjaminkan keshahihan hadits-hadits yang ada di dalamnya.
Selain itu juga ada kitab Adabul Mufrad yang berisi sekitar1000-an hadits, di mana beliau pun tidak memberikan jaminan keshahihannya.
Selain kitab hadits, ternyata Al-Imam Al-Bukhari juga seorang penulis sejarah. Dua kitab sejarah yang beliau susun adalah At-tarikh Al-Kabir dan At-Tarikh Ash-Shaghir. Keduanya sejak pertama kali ditulis, sama sekali tidak bicara tentang hadits nabawi. Kitab ini adalah kitab sejarah, jadi sama sekali bukan kitab hadits.
Maka jangan berharap untuk mendapatkan hadits-hadits yang shahih sebagaimana yang kita dapat dari kitab Ash-Shahih.
Kesimpulan
Jadi semua hadits yang terdapat di dalam kitab Ash-Shahih dipastikan atau dijamin keshahihannya. Sedangkan bila tidak terdapat di dalamnya, meski pun ditulis oleh Al-Bukhari, belum tentu hadits itu shahih.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
Di dalam situs ini saya banyak belajar dan berkenalan dengan beragam ulama. Pertanyaannya, apakah di antara para ulama itu ada jenjang atau struktur kesenioran atau semacam tingkatan?
Aggress Santosa
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Kalau ada tingkatan atau level di kalangan ahli syariah, sebenarnya bukan derajat keimanan atau ketaqwaan, melainkan tingkat keahlian dan profesionalitas. Ibarat dunia kedokteran, ada dokter umum dan ada dokter spesialis. Tapi semua itu bukan jaminan bahwa dokter tidak akan terserang penyakit atau tidak bisa mati.
Syeikh Abu Zahrah, ulama besar Mesir mencoba membuat klasifikasi para ahli ijtihad menjadi beberapa klasifikasi, misalnya mujtahid mutlaq (mustaqil), mujtahid muntasib, mujtahid fil mazhab dan mujtahid fi at-tarjih.
1. Mujtahid mutlaq (mustaqil)
Ini adalah level mujtahid yang paling tinggi. Untuk sampai ke level ini, awalnyaseseorang harus memenuhi dulu standar dasar yang harus dimiliki seorang mujtahid.
Kemudian tambahannya adalah dia harus bisa membuat metologi ijtihad (ushul fiqih) sendiri tanpa meniru atau mengadaptasi dari orang lain. Dari hasil konsepnya itu, dia melakukan ijtihad pada semua sisi kehidupan mulai dari urusan thaharah sampai urusan kenegaraan, yang kemudian disusun menjadi kumpulan hasil ijtihad yang murni hasil dari kesungguhan dirinya. Bukan kutipan juga bukan contekan dari mujtahid lain. Kecuali kalau kebetulan hasilnya sama.
Contoh mujtahid mutlak adalah 4 imam mazhab yang kita kenal:
Mereka yang merumuskan metodologi istimbath hukum dan sistem pengerjaannya, selain mereka juga menggunakannya untuk berijtihad, di mana sistem dan hasil ijtihadnya kemudian dijadikan rujukan oleh mujtahid di level bawahnya.
Kalau kita ibaratkan ilmu matematika, mereka ini kira-kira seperti orang yang menemukan rumus segi tiga siku-siku Phitagoras, a kuadrat sama dengan b kuadrat kali c kuadrat. Atau yang menemukan rumus luas lingkaran.
Siapa pun orang yang datang kemudian, kalau mau mengukur segi tiga siku-siku atau mengukur luas lingkaran, pasti tidak akan bisa lepas dari rumus dasar itu.
2.Mujtahid Muntasib
Pada level kedua, kita bertemu dengan para mujtahid yang disebut muntasib. Sesuai namanya, muntasib adalah orang yang melakukan instisab, yaitu berafiliasi kepada suatu mazhab tertentu.
Jadi mereka tidak menciptakan mazhab sendiri dalam arti tidak merumuskan sistem ijtihad dan istimbath. Mereka adalah orang yang datang belajar sistem itu hingga betul-betul menguasai sepenuhnya, setelah itu merekamenjadi pengguna langsung untuk melakukan berbagai ijtihad dalam masalah syariah.
Namun dari segi kemampuan, sesungguhnya mereka sudah bisa melakukan perumusan sistem ijtihad sendiri. Tapi biasanya mereka tidak melakukannya, karena apa yang sudah dirintis oleh guru mereka sudah lebih baik dan lebih maju.
Bahkan mereka malah menjadi tonggak yang ikut menguatkan suatu mazhab yang sudah ada, karena mereka menjadi pembela sekaligus berjasa mempopulerkannya kepada khalayak.
Kalau kita ibaratkan kira-kira mereka adalah para programer yang ikut pada OS Open Source semacam komunitas Linux. Walau pun mereka bisa bikin sendiri tapi umumnya mereka lebih banyak menjadi pengguna, meski sesekali ikut menyumbangkan karya. Di tangan mereka inilahOS Open Sourcebisa tetap eksis.
Menurut Ibnu Abidin, sebagaimana dikutip oleh Abu Zahrah, pada tiap-tiap mazhab dari keempat mazhab itu ada mujtahid dengan level muntasib.
2.1. Muntasib Mazhab Hanafi
Yang termasuk ke dalam kategori ini adalah Muhammad bin Hasan As-Syaibani (131-189H) dari mazhab Abu Hanifah. Beliau adalah murid langsung Imam Mazhab dan menjadi muntasib pada mazhab yang beliau rintis, sekaligus menjadi pilar yang menguatkan mazhab ini.
Selain itu juga ada Al-Qadhi Abu Yusuf (113-182H) yang amat terkenal itu. Mereka berdua adalah pasangan ulama yang tidak bisa dilepaskan dari nama besar mazhab Abu Hanifah, biasa disebut singkat: Abu Yusuf dan Muhammad.
2.2. Muntasib Mazhab Maliki
Di dalam yang didirikan oleh Al-Imam Malik rahimahullah, kita mengenal ulama besar seperti Abdurrahman bin Al-Qasim (132-191H). Beliau ini levelnya sebenarnya mujtahid mutlak, karena sudah bisa membuat sistem mazhab sendiri.
Namun sebagai murid langsung Al-Imam Malik selama 20 tahun, lebih lebih senang menyempurnakan mazhab gurunya. Termasuk di antara jasa beliau adalah menyempurnakan kitab Al-Mudawwanah Al-Kubra, kitab induk dalam mazhab ini.
2.3. Muntasib Mazhab Asy-Syafi'i
Nama yang bisa disebut untuk muntasib mazhab ini adalah Al-Muzani. Lengkapnya adalah Abu Ibrahim Ismail bin Yahya Al-Muzani (175-264H). Sang guru, Al-Imam Asy-Syafi'i sampai berkomentar begini, "Al-Muzani adalah pembela mazhabku."
Beliau memang berkarya besar untuk mazhab gurunya, di antaranya adalah kitab Al-Mabsuth (Al-Mukhtashar Kabir) dan Al-Mukhtashar Shaghir. Murid Al-Muzani tersebar di seantero khilafah Islamiyah sehingga mazhab gurunya ini dikenal dari ujung barat sampai ujung timur dunia.
Selain itu juga ada Al-Buwaithi (w.231 H) yang oleh As-Syafi'i diwariskan halaqoh di Baghdad dan menulis banyak tentang mazhab ini.
3. Mujtahid fil mazhab
Mereka ini adalah mujtahid yang tidak membuat sistem sendiri, juga tidak berijtihad sendiri. Mereka menggunaka sistem dari mazhab masing-masing dan mengikuti hasil ijtihadnya juga.
Mereka hanya berijtihad manakala di dalam mazhab mereka belum ada hasil ijtihad. Karena persolaan hukum akan terus ada dan tidak pernah berhenti.
Maka pada saat tidak hasil ijtihad dari mazhabnya yang sekiranya cocok dan bisa dijadikan jawaban, mereka barulah berupaya untuk berijtihad.
Dari kalangan mazhab Al-Hanafiyah, yang termasuk ulama mujtahid fil mazhab adalah Abul Hasan Al-Karkhi (260-340H) dan Hasan bin Az-Ziyad (w. 204H). Dari kalangan Maliki adalah Muhammad bin Abdullah Al-Abhari (89-375H). Dari kalangan mazhab Syafi'i adalah Ibnu Abi Hamid Al-Asfraini (344-406H).
4. Mujtahid fi at-tarjih
Pada level paling bawah, ada mujtahid fit tarjih. Peran mereka bukan membuat sistem, juga tidak berijtihad sendiri, juga tidak melakukan ijtihad yangbelum ada ijtihad sebelumya.
Mereka 100% mengikuti sistem dan ijtihad dari para seniornya. Dan karena sudah banyak hasil ijtihad dari para senior dan terkadang hasilnya agak berbeda, maka peran mereka adalah melakukan tarjih.
Namun tarjih yang mereka lakukan bukan dalam arti mementahkan hasil ijtihad, melainkan mencoba melakukan studi komparasi antara semua hasil ijtihad dari keempat mazhab itu, lalu melakukan penelitian ulang atas dalil-dail yang digunakan serta analisa tentang keunggulan dari masing-masing mazhab.
Mengapa masih harus ada tarjih?
Salah satu sebabnya adalah perubahan zaman yang sangat dinamis serta kondisi tiap negeri yang selalu berbeda. Sehingga ada ijtihad yang cocok diterapkan di suatu negeri tapi barangkali kurang tepat kalau diterapkan di negeri yang lain.
Juga ada mazhab yang bisa diterapkan pada zaman tertentu dan kurang tepat untuk masa yang lain.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
JAWAPAN:
Dalam ibadah korban seekor lembu harus dikongsikan oleh tujuh orang. Sama ada seorang satu bahagian atau seorang dua bahagian dan sebagainya.
Sekiranya seekor lembu disertai tujuh orang maka pembahagiannya ialah seorang satu bahagian. Bilangannya ialah sekiranya daging lembu selepas disembelih dah dilapah beratnya 100 kilogram (kg), maka dibahagikan dengan tujuh jadilah seorang dapat lebih kurang 14 kg. Ini bererti setiap seorang bahagiannya 14 kg. Daripada 14 kg itu 1/3 boleh diambil oleh peserta korban atau lebih kurang 4.5 kg. Dan yang lebihnya hendaklah diagihkan kepada fakir miskin dan orang yang memerlukannya.
Bagi orang yang memang dari semulajadi lagi sudah mempunyai sifat tersebut hendaklah meninggalkan secara beransur-ansur sifat ini. Jika ia enggan berbuat demikian malah masih berterusan dengan sifatnya, perlulah dikeji sikapnya itu. Namun begitu menurut pendapat Imam An Nawawi, bagi mereka yang tidak mampu meninggalkan sifat ini walaupun secara beransur-ansur ia tidak wajar dicela.
Rasulullah SAW bersabda maksudnya:
"Rasulullah SAW melaknat lelaki yang menyerupai kaum perempuan dan perempuan yang menyerupai kaum lelaki. Sabda baginda: Keluarkanlah mereka dari rumah-rumah mereka. Nabi pernah mengeluarkan seorang Mak Nyah dari rumahnya sebagaimana Umar juga pernah berbuat demikian".
(Riwayat Bukhari dan Ahmad)
Walaupun begitu pada zaman sekarang ini banyak hotel disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, sehingga dengan sengaja mereka menyediakan tempat untuk bermaksiat dan sebagainya. Jika jelas wujud maksiat di hotel tersebut bahkan dengan sengaja disediakan oleh pihak hotel sendiri, maka lebih baik meninggalkan pekerjaan ini, kerana dikhuatirkan ada nilai syubhat dalam rezeki yang kita terima sebagai gaji. Wallahu a'lam.
Bersama: MOHD. FARID
SOALAN:
ADAKAH suami menanggung dosa isterinya yang tidak menutup aurat/mendedahkan aurat kepada yang bukan mahramnya?
JAWAPAN:
RUMAH tangga yang aman damai itu terbina di antara gabungan ketegasan seorang lelaki dan kelembutan seorang wanita. Lelaki berusaha mencari nafkah sementara wanita menguruskan rumah tangga. Tentu tidak akan wujud sebuah rumah tangga yang bahagia jika suami sahaja yang gagah atau kelembutan isteri semata-mata.
SOALAN 2:
Saya seorang lelaki gay tetapi dari luaran kelihatan seperti lelaki normal. Seingat saya tidak pernah melalui pengalaman pahit sehingga menjadikan saya begini. Sekarang umur saya hampir mencecah 30-an. Saya bukan seorang gay yang aktif tetapi pernah mempunyai pasangan sesama jantina. Sejak kebelakangan saya mula berfikir hidup begini tidak ke mana (melukakan, kesunyian dan kebanyakannya berorientasikan seks semata-mata) dan dilaknat Allah. Apa yang harus saya lakukan?
JAWAPAN:
Apa yang berlaku dan kecenderungan saudara adalah sesuatu yang tidak normal bagi seorang lelaki. Allah s.w.t. menjadikan pasangan bagi manusia adalah kaum lain jenis, lelaki sukakan perempuan dan begitu sebaliknya. Ini yang dinamakan fitrah tabie manusia. Apabila seorang lelaki atau seorang perempuan sukakan jenis yang sama, malahan sanggup melakukan perbuatan yang terkutuk di sisi agama. Puncanya manusia hilang hala tuju kehidupan yang sebenar. Setiap orang perlu melihat kepada asal usul kejadiannya.
Bersama: MOHD. FARID RAVI ABDULLAH
SOALAN 1:
Apakah kelebihan berpuasa pada hari Afarah?
JAWAPAN:
Terdapat beberapa hadis yang sahih menggalakkan orang Islam yang tidak ke Tanah Suci Mekah supaya berpuasa pada hari Arafah. Di antara sabda Baginda bermaksud:
Ditanya kepada Rasulullah s.a.w. berhubung puasa pada hari Arafah, maka Baginda bersabda: Berpuasa pada hari Arafah menghapuskan dosanya setahun sebelum dan setahun selepas.
(riwayat Muslim).
Daripada Abi Qatadah daripada Baginda Rasulullah s.a.w. bersabda yang bermaksud:
Berpuasa pada hari Arafah, sesungguhnya aku mengharapkan daripada Allah agar dihapuskan dosa selama satu tahun sebelumnya dan satu tahun selepasnya. (riwayat Abu Daud, al-Nasie dan al-Tirmizi)
Yang dimaksudkan setahun sebelum ialah setahun sebelum 9 Zulhijjah dan setahun selepasnya ialah setahun selepas 9 Zulhijjah, ini bermakna penghapusan dosa bagi dua tahun berturut-turut.
Dua hadis di atas, jelas bahawa sunat kita berpuasa pada hari Arafah di dalam, Bab Puasa Sunat. Sebagai anak Adam kita tidak terlepas daripada melakukan dosa sama ada yang kita sedar ataupun tidak, kecil mahupun besar. Maka dengan adanya peluang sebegini adalah untuk manusia mengambil peluang bertaubat dan menginsafi diri.
Bagi mereka yang ingin mengqada puasa wajibnya, sekiranya dia berpuasa pada hari Arafah dengan niat qada, puasanya sah dan pada masa yang sama mendapat ganjaran yang dijanjikan dalam hadis di atas. Ini tidak bermaksud menangguhkan puasa wajib qada sehingga hari Arafah, ini kerana qada puasa wajib perlu disegerakan. Namun jika ada yang ingin mengqada tidaklah terlepas daripada ganjaran yang dijanjikan. Kerana yang wajib itu sifatnya kulliy dan sunat Arafah ialah juz’iy. apabila kulliy bertemu dengan juz’iy, maka juz’iy ikut sekali. Ini juga kerana adanya musaadafah bertemu yang wajib dengan sunat yang mempunyai fadilat, maka fadilat akan diperoleh oleh orang yang berpuasa pada hari Arafah.
Imam al Bukhari Rahimahullah meriwayatkan daripada Ibnu ‘Abbas r.a bahawa Nabi s.a.w bersabda, Tiada suatu hari pun, amalan kebaikan padanya mempunyai kelebihan melainkan pada hari-hari ini – iaitu 10 hari Zulhijjah.
Imam Ahmad r.a. dari Ibnu Umar r.a. bahawa Rasulullah s.a.w bersabda, “Tiada suatu haripun, amalan kebaikan padanya mempunyai kelebihan melainkan pada hari-hari 10 Zulhijjah ini, oleh kerana itu perbanyakkanlah padanya tahlil (La Ilaha Illa Allah), takbir (Allah Akbar) dan tahmid (Alhamdu Lillah).
WANITA zaman pasca moden ini, pakaian dan cara berpakaian sebahagian wanita sekarang gagal mencapai matlamat menutup aurat seperti dituntut Islam. Pakaian mereka hanya berjaya menutup kulit badan, tetapi masih tetap mempamerkan kecantikan dan keistimewaan bentuk serta susuk hingga boleh dikatakan, sama ada mereka berpakaian atau tidak, sama saja.
Tetapi itulah hakikatnya, mereka terbabit dengan amalan tabarruj iaitu perbuatan mendedahkan kecantikan rupa paras, sama ada kecantikan itu di bahagian muka atau anggota badan lain. Menurut al-Bakhari, tabarruj ialah wanita yang memperlihatkan kecantikan rupa parasnya.
Ketara sekali mereka yang berkenaan khususnya wanita yang mengakui Muslimat, tetapi sukar dikategorikan sebagai Mukminat, terlalu ingin memperagakan kecantikan diri atau keistimewaan sifat fizikal kewanitaan mereka.
Dari Amir bin Rabi'ah, ia berkata: Kami pernah bersama Nabi SAW. pada suatu malam gelap, lalu bingung menentukan arah kiblat, lalu kami solat. Maka tatkala terbit matahari, ternyata kami solat tidak menghadap kiblat. Lalu turun ayat
"Maka kemanapun kamu menghadap, disitu ada keredhaan Allah."
(Riwayat Tirmizi)
(Sila rujuk Bulughul Malam oleh Al Hafidz Bin Hajar Al Asqalani, bab syarat-syarat solat)
Al-Alusi berkata dalam Ruh al-Ma’ani: Wahai lelaki yang ingin berkahwin, sama ada dengan cara jelas kenyataannya atau secara sindiran, apatah lagi yang membabitkan perempuan yang dalam keadaan idah, maka di
Alah berfirman: Dan tidak ada salahnya bagi kamu tentang apa yang kamu bayangkan (secara sindiran), untuk meminang perempuan (yang kematian suami dan masih dalam idah), atau tentang kamu menyimpan dalam hati (keinginan berkahwin dengan mereka).
Allah mengetahui bahawa kamu akan menyebut-nyebut atau mengingati) mereka, (yang demikian itu tidaklah salah), akan tetapi janganlah kamu membuat janji dengan mereka di dalam sulit, selain dari menyebutkan kata-kata (secara sindiran) yang sopan.
Dan janganlah kamu menetapkan dengan bersungguh-sungguh (hendak melakukan) akad nikah sebelum habis idah yang ditetapkan itu. Dan ketahuilah sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada dalam hati kamu, maka beringat-ingatlah kamu akan kemurkaanNya, dan ketahuilah, sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi Maha Penyabar. (al-Baqarah: 235)
Firman Allah: Dan tidak ada salahnya bagi kamu tentang apa yang kamu bayangkan (secara sindiran), untuk meminang perempuan (yang kematian suami dan masih dalam idah), atau tentang kamu menyimpan dalam hati (keinginan berkahwin dengan mereka).
Sonhaji berkata: Jika seseorang itu hendak meminang janda yang masih dalam idahnya, janganlah pinangan itu dikemukakan kepadanya secara berterus-terang.
Namun, hendaklah dengan sindiran, bayangan ataupun isyarat sahaja, misalnya ia berkata: “Puan ini seorang yang cantik rupanya dan solehah pula orangnya, sedang saya berazam benar hendak berumahtangga, semoga Allah memudahkan saya memperoleh perempuan yang solehah.”
Lain-lain misal ialah menggunakan
Ibn al-Arabi berkata: Tafsiran sindiran itu boleh dibahagikan kepada dua bahagian pokok iaitu:
* Menyebutkan kepada wali dengan kata: “Janganlah kamu dahuluiku terhadapnya.”
* Menyebutkan perkara itu kepada wanita tersebut tanpa orang tengah. Jika perkara itu disebutkan sendiri kepada wanita tersebut, maka ada tujuh bentuk kata-kata yang diucapkan :
Lelaki berkata kepada wanita itu: Aku ingin berkahwin.
“Jangan dahulukan dirimu daripadaku.” Dikatakan oleh Ibn Abbas,
“Kamu ini cantik dan saya memang perlukan wanita, dan Allah meletakkan kebaikan kepada anda.
“Kamu memang laris.” Dikatakan oleh Ibn al-Qasim.
“Aku ada hajat, terimalah berita gembira bahawa kamu ini laris.” Wanita itu boleh menjawab: “Aku telah dengar apa yang kamu katakan. Dia tidak boleh menambah sesuatu selain itu.” Dikatakan oleh Atta’.
Diberikan hadiah kepada wanita itu. Dikatakan oleh Ibrahim, jika biasanya lelaki itu memberikan hadiah.
Diberikan hadiah tetapi jangan diambil janjinya. Dikatakan oleh al-Sya’bi.
Firman Allah: Allah mengetahui bahawa kamu akan menyebut-nyebut atau mengingati) mereka, (yang demikian itu tidaklah salah), akan tetapi janganlah kamu membuat janji dengan mereka di dalam sulit, selain dari menyebutkan kata-kata (secara sindiran) yang sopan. Dan janganlah kamu menetapkan dengan bersungguh-sungguh (hendak melakukan) akad nikah sebelum habis idah yang ditetapkan itu.
Sonhaji berkata: Allah mengetahui akan hasrat hati seorang terhadap perempuan yang hendak dipinangnya, tiadalah ia menjadi larangan. Yang dilarang ialah berjanji kepada perempuan itu hendak mengahwininya, kecuali jika membahasakan dengan cara yang patut iaitu dengan memberitahukan walinya, dan mengemukakan pinangannya itu setelah selesai idahnya.
Maksud rahsia atau sulit yang disebut oleh ayat ini sebagaimana yang disebut oleh Ibn al-Arabi: Kamu dilarang daripada berterus terang untuk berkahwin dan melakukan akad nikah, tetapi kamu dibenarkan menyebutnya secara sindiran. Oleh itu, apabila kamu menyebutkannya secara sindiran, maka jaga-jagalah jangan sampai kamu membuat janji untuk berkahwin semasa waktu kamu dilarang melakukan akad kahwin dengan mereka.
* Ia bermaksud zina.
* Ia bermaksud persetubuhan.
* Ia bermaksud menyatakan secara terus terang.
Al-Tabarani memilih pendapat yang mengatakan ia bermaksud zina berdasarkan kata-kata A’sya yang bermaksud:
Jangan kamu hampiri si gadis kerana rahsianya haram ke atas kamu, maka kahwinilah dia atau pencilkan diri.
Perkataan al-Sir (rahsia / sulit) dari sudut bahasa mempunyai banyak pengertian.
Bicara yang diucapkan secara rahsia dan disembunyikan apa yang terselindung.
* Sir al-Wadi (tebing lembah).
* Sir al-Syai’ (yang terbaik).
* Zina.
* Persetubuhan.
* Faraj wanita.
* Sir al-Shahr (malam-malam yang tidak kelihatan bulan sabit)
Kesemua pengertian ini ada yang boleh dipadankan antara satu sama lain, di mana maksud yang merangkumi semua pengertian itu ialah ‘tersembunyi’. Maksud ini adakalanya umum kepada sesuatu dan adakalanya khusus kepada yang lain.
Perhatikan perkataan yang bermaksud yang terbaik kerana ia tersembunyi dan terpelihara. Perkataan yang bermaksud tebing lembah kerana tebing itulah yang paling elok, kerana keindahan lembah itu hanya dapat dinikmati apabila kita duduk di atas tebingnya bukan di dalam lembahnya. Kerana itulah dinamakan Surriyyah (perempuan simpanan/khadam wanita) kerana dia diambil untuk tujuan persetubuhan.
Perkataan khadam (bagi wanita) digunakan untuk mereka yang diambil untuk bekerja dan disetubuhi. Wanita yang diambil untuk tujuan disetubuhi dipanggil surriyyah yang berakar kata daripada perkataan surur (seronok). Kerana itulah juga faraj wanita dinamakan sir kerana ia adalah tempat untuk berseronok.
Dalam konteks ayat ini, ia bermaksud: Jangan kamu membuat janji kepada mereka untuk bernikah atau bersetubuh, kerana ia merupakan janji yang diharamkan kepada kamu semasa dalam idah, disebabkan mereka diharamkan berkahwin semasa dalam idah sampai waktu tertentu, maka diharamkan juga membuat janji semasa dalam idah itu.
Firman Allah: Dan ketahuilah sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada dalam hati kamu, maka beringat-ingatlah kamu akan kemurkaan-Nya, dan ketahuilah, sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi Maha Penyabar.
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun, yakni tiada menyegerakan seksa-Nya kepada orang yang derhaka kepada-Nya, bahkan dengan adanya sifat penyantun itu, ditutupi-Nya kesalahan hamba-Nya.
Iktibar Ayat
- Tidak boleh meminang seseorang perempuan dalam idah.
- Berkahwin semasa idah kemudian bersekedudukan hendaklah difasakh dan tidak berkahwin selamanya. Inilah pendapat Malik, Ahmad dan al-Sya’bi.
- Islam menggalakkan perkahwinan tetapi mengikut adab dan syarat-syaratnya.
Rujukkan:
CD Muallifat Al Hafiz Ibnu Hajar Al Asqolani.
Fathul Baari - juz 9 ms 145.
Kedua:
Anda menterjemahkan “Aku berpendapat (Ibnu Hajar) : Hal ini tidak dapat diterima sebagai Ihtimal sepertimana yg dinyatakan oleh Baihaqi,kerana semua perkara yg diterangkan berkaitan dengan dosa kafir tulen, adapun seluruh dosa mereka yang tidak kafir (muslim munafiq/fasiq) mka tak ada halangan untuk diringankan azab mereka”.
Tammat Fathul Baari